Muhammad Riharja, SIP*
Membaca adalah salah satu cara cepat untuk menguasai dunia. Pernyataan ini bukanlah sebuah ungkapan main-main. Bukti nyata dari kebenaran pernyataan ini adalah pengalaman yang sudah dilalui oleh masyarakat Jepang sejak sekitar 60 tahun yang lalu.
Setelah porak poranda akibat bom atom Amerika dan kekalahan besar dalam Perang Dunia II pada tahun 40-an, Jepang bersusah payah bangkit dan berusaha membangun kembali negaranya dari titik nol dengan “membaca”.
Ribuan buku dari luar negeri didatangkan ke Jepang kemudian diterjemahkan oleh para ahli bahasa dan sastra untuk selanjutnya disebarkan ke masyarakat umum sebagai khalayak pembaca. Dampak dari kebijakan ini tidak main-main. Mulai dari elite pemerintahan, kelas atas, kelas menengah sampai masyarakat bawah mendukung penuh kebijakan ini dengan membiasakan diri membaca dan menjadikan kegiatan membaca menyenangkan dan pada akhirnya ia melekat sebagai bagian dari kebudayaan masyarakat. Hasilnya? Kurang dari 30 tahun Jepang mampu bangkit dan menjelma menjadi sebuah negara maju yang sejajar dengan AS sebagai negara yang dulu menjatuhkan bom atom yang melumpuhkan Jepang sebagai sebuah negara. Sampai kinipun, Jepang masih terdepan dalam penguasaan berbagai teknologi mutakhir dan unggul dalam sumber daya manusia. Tidak heran, berbagai produk teknologi informasi, elektronik dan produk kendaraan di seluruh dunia selain dikuasi oleh beberapa negara Eropa juga dikuasai oleh Jepang sebagai pemain besar dari Asia.
Starting Point yang Sama
Pada kenyataannya, Jepang dan Indonesia adalah dua negara yang pada tahun 1940-an secara bersamaan mulai membangun negaranya dari titik nol. Bedanya, Jepang membangun kembali negaranya bukan sebagai bekas negara terjajah tapi sebagai negara penjajah yang kalah perang sedangkan Indonesia benar-benar baru membangun setelah Negara Kesatuan Republik Indonesia diproklamirkan pasca dijajah ratusan tahun oleh Belanda dan Jepang sendiri.
Pada titik memulai ini, sebenarnya Indonesia memiliki modal lebih jika dibandingkan Jepang. Nilai lebih yang dimaksud adalah kerusakan fisik di Indonesia tidak separah di Jepang (bayangkan Nagasaki dan Hiroshima benar-benar rata tanah setelah dijatuhi bom atom Amerika). Selain itu, bumi Indonesia juga mengandung kekayaan alam yang melimpah ruah jika dibandingkan dengan Jepang yang miskin sumber daya alam. Indonesia memiliki sumber minyak, batu bara, gas, emas yang hampir sama sekali tidak dimiliki Jepang. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah mengapa memulai hampir pada saat yang bersamaan tapi kini Jepang sudah melesat jauh meninggalkan Indonesia?
Ada beberapa analisis yang mungkin bisa diangkat sebagai jawaban yang terbuka untuk masalah ini. Pertama, kembali ke masalah budaya baca tadi. Para pembuat kebijakan di Jepang sedari awal menyadari bahwa mereka memiliki modal yang sangat minim pada saat memulai, dimana kekayaan negara habis untuk biaya perang dan SDM banyak yang gugur di medan perang. Selain juga nihil sumber daya alam. Pilihan yang masuk akal, mau tidak mau adalah dengan meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang tersisa. Maka diambillah kebijakan mewajibkan warga sampai tingkat terendah untuk membaca, membaca dan membaca. Gayung bersambut, kebijakan ini berhasil maksimal dan didukung penuh oleh masyarakat Jepang sendiri dalam segala lapisan.
Kedua, masyarakat Jepang sudah selesai dengan permasalah perbedaan suku, golongan, agama, perbedaan pusat daerah dan berbagai masalah identitas lainnya, sehingga mereka benar-benar bersatu untuk memecahkan permasalah bersama yang lebih besar : Jepang sebagai sebuah negara harus bangkit dari keterpurukan.
Ketiga, budaya disiplin dan kerja keras. Dua hal ini adalah modal pendukung lainnya yang menyebabkan Jepang bisa melejit mengejar ketertinggalannya. Semenjak terpuruk sebagai buah dari perang, masyarakat Jepang menyadari bahwa tidak ada alasan untuk tidak bekerja keras dan berdisiplin tinggi dalam diri individu masing-masing. Budaya disiplin dan kerja keras ini erat pula kaitannya dengan mekanisme self punishment. Artinya, setiap individu akan merasa bersalah jika ia tidak bekerja keras dan berdisiplin dalam pekerjaan dan kehidupan kesehariannya. Bisa dibayangkan bagaimana dampak secara nasionalnya jika setiap individu yang ada bekerja keras dan mendisiplinkan diri sendiri.
Ketiga hal inilah beberapa poin pembeda antara masyarakat Jepang dan Indonesia sehingga Indonesia jauh tertinggal dengan Jepang sampai saat ini.
Budaya Membaca sebagai Solusi
Benang merah yang bisa ditarik dari pembahasan ini sejak awal adalah Indonesia akan bisa mengejar kemajuan Jepang atau negara lainnya, jika SDM sampai ke tingkat terbawah memiliki budaya baca yang tinggi. Yang menjadi kendala sampai saat ini adalah kurangnya minat baca masyarakat Indonesia. Jika dibandingkan dengan negara-negara Asia Tenggara lainnya minat baca kita masih jauh di bawah Malaysia dan Filipina bahkan masih berada di bawah Vietnam.
Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Biro Pusat Statistik pada tahun 2006, masyarakat Indonesia belum menjadikan kegiatan membaca sebagai sumber utama mendapatkan informasi. Orang lebih memilih menonton TV (85,9%) atau mendengarkan radio (40,3%) ketimbang membaca koran (23,5%).
Bagaimana di Tarakan?
Melihat perkembangan terakhir, budaya membaca di kalangan masyarakat Tarakan hingga lapisan bawah lumayan mengalami peningkatan. Ada beberapa faktor yang mendukung terciptanya kebiasaan membaca masyarakat Tarakan saat ini. Pertama, tak bisa dinafikan bahwa kehadiran koran lokal seperti Radar Tarakan, turut memberikan kontribusi besar bagi peningkatan minat dan budaya baca masyarakat Tarakan. Bisa dilihat, koran sudah bukan lagi bacaan monopoli kelas menengah ke atas, ia juga sudah menjadi konsumsi kelas menengah ke bawah. Di pasar, di pelabuhan, pangkalan ojek, tidak aneh lagi jika kita melihat banyak masyarakat yang membaca Radar Tarakan untuk mendapatkan dan menggali informasi. Mungkin fenomena ini tidak berbeda jauh dengan kabupaten/kota lainnya di kawasan Kaltim bagian Utara.
Kedua, kehadiran novel-novel sastra laris seperti Tetralogi (Empat Seri) Laskar Pelangi dan Ayat-Ayat Cinta juga ikut memberikan kontribusi semakin meluasnya kalangan yang gemar membaca di Tarakan. Rujukan data kasar ini adalah berdasarkan pada daftar penjualan buku-buku laris di Gramedia GTM dimana novel karya Andrea Hirata dan Habiburrahman El Shirazy laris manis. Bisa jadi, diantara pembeli novel ini ada yang sebelumnya sama sekali tidak suka membaca, tapi karena penasaran dengan cerita dari mulut ke mulut bahwa novel yang dimaksud bagus, maka ia tertarik untuk ikut membeli bukunya dan kemudian membacanya. Kebiasaan membaca bisa diawali dengan membaca karya-karya sastra atau cerita-cerita ringan dan lambat laun secara tidak langsung akan menjadi ajang latihan. Secara perlahan-lahan si pembaca novel juga tidak akan kesulitan jika berhadapan dengan teks-teks bacaan yang lebih serius, terkait dengan pengetahuan umum yang menjadi pengaya wawasan.
Bagaimanapun, peningkatan minat baca dan penggalakan budaya baca adalah penting bagi pengembangan SDM siswa dan mahasiswa di Universitas dan sekolah-sekolah yang ada di Tarakan bahkan hingga masyarakat umum di luar lingkup pendidikan formal. Jika berkaca dari negara maju seperti Jepang atau Singapura ketika memulai, yang pertama mereka bangun bukanlah bangunan fisik tapi terlebih dahulu membangun SDM yang handal dan menggalakkan keterlibatan semua lini masyarakat dalam pengembangan konsep self learning alias proses pembelajaran yang dilakukan individu dengan kesadaran sendiri. Jika Tarakan serius ingin menjadi the New Singapore, fakta yang tidak boleh diabaikan adalah : Singapura bisa menjadi negara pulau yang sangat maju berangkat dari pengembangan SDM secara masif dan tentunya tidak lepas dari budaya membaca.
Isu lainnya yang menarik untuk di bahas dan ada kaitannya dengan budaya baca adalah masalah predikat Kota Pendidikan. Sebagai perbandingan bisa mengambil contoh apa yang terjadi di Yogyakarta. Kota Yogyakarta mendapatkan predikat sebagai Kota Pendidikan karena pendidikan seolah ‘hidup’ dalam setiap lini kehidupan masyarakatnya. Pendidikan di sini bukan hanya pendidikan dalam artian formal saja tapi juga berhubungan dengan kesadaran masyarakat untuk turut serta menciptakan situasi kondusif proses belajar sehingga kota ini menjadi pilihan ribuan pelajar dan mahasiswa dari seluruh propinsi yang ada di Indonesia untuk menuntut ilmu. Dan sebagai konsekuensinya kota inipun mendapatkan julukan (dari pihak luar) sebagai Kota Pendidikan. Di kota ini juga terdapat puluhan perpustakaan besar milik Universitas-Universitas dan dua perpustakaan milik pemerintah daerah yang kesemuanya bisa diakses bebas oleh masyarakat umum.
Saat ini, kendala yang dialami di Tarakan terkait dengan budaya baca adalah mahalnya buku dan kurang familiarnya masyarakat dengan fasilitas baca untuk publik yang sebenarnya sudah ada. Keberadaan Kantor Perpustakaan dan Kearsipan, kurang diketahui masyarakat umum. Padahal letaknya sangat strategis. Mungkin, papan nama yang terpampang : “Kantor Perpustakaan dan Kearsipan” itu terkesan formal dan berjarak dengan masyarakat sehingga banyak yang menyangka ia hanya sebagai kantor pemerintahan dan masyarakat umum tidak bisa berkunjung ke sana. Sebagai usul, bagaimana kalau misalnya papan namanya diganti menjadi “Perpustakaan Kota Tarakan” saja. Dengan penamaan ini mungkin masyarakat akan lebih familiar dengan perpustakaan tersebut sehingga bisa memanfaatkannya secara maksimal demi meningkatkan SDM mereka yang nantinya juga akan berdampak baik pada cita-cita besar Tarakan untuk menjadi the New Singapore dan Kota Pendidikan itu.
Muhammad Riharja, Alumnus SMA 2 Tarakan, menyelesikan studi di Yogyakarta
(Sumber ; Radar Tarakan, 11 Januari 2009)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar