Muhammad Riharja, SIP*
Membaca adalah salah satu cara cepat untuk menguasai dunia. Pernyataan ini bukanlah sebuah ungkapan main-main. Bukti nyata dari kebenaran pernyataan ini adalah pengalaman yang sudah dilalui oleh masyarakat Jepang sejak sekitar 60 tahun yang lalu.
Setelah porak poranda akibat bom atom Amerika dan kekalahan besar dalam Perang Dunia II pada tahun 40-an, Jepang bersusah payah bangkit dan berusaha membangun kembali negaranya dari titik nol dengan “membaca”.
Ribuan buku dari luar negeri didatangkan ke Jepang kemudian diterjemahkan oleh para ahli bahasa dan sastra untuk selanjutnya disebarkan ke masyarakat umum sebagai khalayak pembaca. Dampak dari kebijakan ini tidak main-main. Mulai dari elite pemerintahan, kelas atas, kelas menengah sampai masyarakat bawah mendukung penuh kebijakan ini dengan membiasakan diri membaca dan menjadikan kegiatan membaca menyenangkan dan pada akhirnya ia melekat sebagai bagian dari kebudayaan masyarakat. Hasilnya? Kurang dari 30 tahun Jepang mampu bangkit dan menjelma menjadi sebuah negara maju yang sejajar dengan AS sebagai negara yang dulu menjatuhkan bom atom yang melumpuhkan Jepang sebagai sebuah negara. Sampai kinipun, Jepang masih terdepan dalam penguasaan berbagai teknologi mutakhir dan unggul dalam sumber daya manusia. Tidak heran, berbagai produk teknologi informasi, elektronik dan produk kendaraan di seluruh dunia selain dikuasi oleh beberapa negara Eropa juga dikuasai oleh Jepang sebagai pemain besar dari Asia.
Starting Point yang Sama
Pada kenyataannya, Jepang dan Indonesia adalah dua negara yang pada tahun 1940-an secara bersamaan mulai membangun negaranya dari titik nol. Bedanya, Jepang membangun kembali negaranya bukan sebagai bekas negara terjajah tapi sebagai negara penjajah yang kalah perang sedangkan Indonesia benar-benar baru membangun setelah Negara Kesatuan Republik Indonesia diproklamirkan pasca dijajah ratusan tahun oleh Belanda dan Jepang sendiri.
Pada titik memulai ini, sebenarnya Indonesia memiliki modal lebih jika dibandingkan Jepang. Nilai lebih yang dimaksud adalah kerusakan fisik di Indonesia tidak separah di Jepang (bayangkan Nagasaki dan Hiroshima benar-benar rata tanah setelah dijatuhi bom atom Amerika). Selain itu, bumi Indonesia juga mengandung kekayaan alam yang melimpah ruah jika dibandingkan dengan Jepang yang miskin sumber daya alam. Indonesia memiliki sumber minyak, batu bara, gas, emas yang hampir sama sekali tidak dimiliki Jepang. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah mengapa memulai hampir pada saat yang bersamaan tapi kini Jepang sudah melesat jauh meninggalkan Indonesia?
Ada beberapa analisis yang mungkin bisa diangkat sebagai jawaban yang terbuka untuk masalah ini. Pertama, kembali ke masalah budaya baca tadi. Para pembuat kebijakan di Jepang sedari awal menyadari bahwa mereka memiliki modal yang sangat minim pada saat memulai, dimana kekayaan negara habis untuk biaya perang dan SDM banyak yang gugur di medan perang. Selain juga nihil sumber daya alam. Pilihan yang masuk akal, mau tidak mau adalah dengan meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang tersisa. Maka diambillah kebijakan mewajibkan warga sampai tingkat terendah untuk membaca, membaca dan membaca. Gayung bersambut, kebijakan ini berhasil maksimal dan didukung penuh oleh masyarakat Jepang sendiri dalam segala lapisan.
Kedua, masyarakat Jepang sudah selesai dengan permasalah perbedaan suku, golongan, agama, perbedaan pusat daerah dan berbagai masalah identitas lainnya, sehingga mereka benar-benar bersatu untuk memecahkan permasalah bersama yang lebih besar : Jepang sebagai sebuah negara harus bangkit dari keterpurukan.
Ketiga, budaya disiplin dan kerja keras. Dua hal ini adalah modal pendukung lainnya yang menyebabkan Jepang bisa melejit mengejar ketertinggalannya. Semenjak terpuruk sebagai buah dari perang, masyarakat Jepang menyadari bahwa tidak ada alasan untuk tidak bekerja keras dan berdisiplin tinggi dalam diri individu masing-masing. Budaya disiplin dan kerja keras ini erat pula kaitannya dengan mekanisme self punishment. Artinya, setiap individu akan merasa bersalah jika ia tidak bekerja keras dan berdisiplin dalam pekerjaan dan kehidupan kesehariannya. Bisa dibayangkan bagaimana dampak secara nasionalnya jika setiap individu yang ada bekerja keras dan mendisiplinkan diri sendiri.
Ketiga hal inilah beberapa poin pembeda antara masyarakat Jepang dan Indonesia sehingga Indonesia jauh tertinggal dengan Jepang sampai saat ini.
Budaya Membaca sebagai Solusi
Benang merah yang bisa ditarik dari pembahasan ini sejak awal adalah Indonesia akan bisa mengejar kemajuan Jepang atau negara lainnya, jika SDM sampai ke tingkat terbawah memiliki budaya baca yang tinggi. Yang menjadi kendala sampai saat ini adalah kurangnya minat baca masyarakat Indonesia. Jika dibandingkan dengan negara-negara Asia Tenggara lainnya minat baca kita masih jauh di bawah Malaysia dan Filipina bahkan masih berada di bawah Vietnam.
Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Biro Pusat Statistik pada tahun 2006, masyarakat Indonesia belum menjadikan kegiatan membaca sebagai sumber utama mendapatkan informasi. Orang lebih memilih menonton TV (85,9%) atau mendengarkan radio (40,3%) ketimbang membaca koran (23,5%).
Bagaimana di Tarakan?
Melihat perkembangan terakhir, budaya membaca di kalangan masyarakat Tarakan hingga lapisan bawah lumayan mengalami peningkatan. Ada beberapa faktor yang mendukung terciptanya kebiasaan membaca masyarakat Tarakan saat ini. Pertama, tak bisa dinafikan bahwa kehadiran koran lokal seperti Radar Tarakan, turut memberikan kontribusi besar bagi peningkatan minat dan budaya baca masyarakat Tarakan. Bisa dilihat, koran sudah bukan lagi bacaan monopoli kelas menengah ke atas, ia juga sudah menjadi konsumsi kelas menengah ke bawah. Di pasar, di pelabuhan, pangkalan ojek, tidak aneh lagi jika kita melihat banyak masyarakat yang membaca Radar Tarakan untuk mendapatkan dan menggali informasi. Mungkin fenomena ini tidak berbeda jauh dengan kabupaten/kota lainnya di kawasan Kaltim bagian Utara.
Kedua, kehadiran novel-novel sastra laris seperti Tetralogi (Empat Seri) Laskar Pelangi dan Ayat-Ayat Cinta juga ikut memberikan kontribusi semakin meluasnya kalangan yang gemar membaca di Tarakan. Rujukan data kasar ini adalah berdasarkan pada daftar penjualan buku-buku laris di Gramedia GTM dimana novel karya Andrea Hirata dan Habiburrahman El Shirazy laris manis. Bisa jadi, diantara pembeli novel ini ada yang sebelumnya sama sekali tidak suka membaca, tapi karena penasaran dengan cerita dari mulut ke mulut bahwa novel yang dimaksud bagus, maka ia tertarik untuk ikut membeli bukunya dan kemudian membacanya. Kebiasaan membaca bisa diawali dengan membaca karya-karya sastra atau cerita-cerita ringan dan lambat laun secara tidak langsung akan menjadi ajang latihan. Secara perlahan-lahan si pembaca novel juga tidak akan kesulitan jika berhadapan dengan teks-teks bacaan yang lebih serius, terkait dengan pengetahuan umum yang menjadi pengaya wawasan.
Bagaimanapun, peningkatan minat baca dan penggalakan budaya baca adalah penting bagi pengembangan SDM siswa dan mahasiswa di Universitas dan sekolah-sekolah yang ada di Tarakan bahkan hingga masyarakat umum di luar lingkup pendidikan formal. Jika berkaca dari negara maju seperti Jepang atau Singapura ketika memulai, yang pertama mereka bangun bukanlah bangunan fisik tapi terlebih dahulu membangun SDM yang handal dan menggalakkan keterlibatan semua lini masyarakat dalam pengembangan konsep self learning alias proses pembelajaran yang dilakukan individu dengan kesadaran sendiri. Jika Tarakan serius ingin menjadi the New Singapore, fakta yang tidak boleh diabaikan adalah : Singapura bisa menjadi negara pulau yang sangat maju berangkat dari pengembangan SDM secara masif dan tentunya tidak lepas dari budaya membaca.
Isu lainnya yang menarik untuk di bahas dan ada kaitannya dengan budaya baca adalah masalah predikat Kota Pendidikan. Sebagai perbandingan bisa mengambil contoh apa yang terjadi di Yogyakarta. Kota Yogyakarta mendapatkan predikat sebagai Kota Pendidikan karena pendidikan seolah ‘hidup’ dalam setiap lini kehidupan masyarakatnya. Pendidikan di sini bukan hanya pendidikan dalam artian formal saja tapi juga berhubungan dengan kesadaran masyarakat untuk turut serta menciptakan situasi kondusif proses belajar sehingga kota ini menjadi pilihan ribuan pelajar dan mahasiswa dari seluruh propinsi yang ada di Indonesia untuk menuntut ilmu. Dan sebagai konsekuensinya kota inipun mendapatkan julukan (dari pihak luar) sebagai Kota Pendidikan. Di kota ini juga terdapat puluhan perpustakaan besar milik Universitas-Universitas dan dua perpustakaan milik pemerintah daerah yang kesemuanya bisa diakses bebas oleh masyarakat umum.
Saat ini, kendala yang dialami di Tarakan terkait dengan budaya baca adalah mahalnya buku dan kurang familiarnya masyarakat dengan fasilitas baca untuk publik yang sebenarnya sudah ada. Keberadaan Kantor Perpustakaan dan Kearsipan, kurang diketahui masyarakat umum. Padahal letaknya sangat strategis. Mungkin, papan nama yang terpampang : “Kantor Perpustakaan dan Kearsipan” itu terkesan formal dan berjarak dengan masyarakat sehingga banyak yang menyangka ia hanya sebagai kantor pemerintahan dan masyarakat umum tidak bisa berkunjung ke sana. Sebagai usul, bagaimana kalau misalnya papan namanya diganti menjadi “Perpustakaan Kota Tarakan” saja. Dengan penamaan ini mungkin masyarakat akan lebih familiar dengan perpustakaan tersebut sehingga bisa memanfaatkannya secara maksimal demi meningkatkan SDM mereka yang nantinya juga akan berdampak baik pada cita-cita besar Tarakan untuk menjadi the New Singapore dan Kota Pendidikan itu.
Muhammad Riharja, Alumnus SMA 2 Tarakan, menyelesikan studi di Yogyakarta
(Sumber ; Radar Tarakan, 11 Januari 2009)
Sabtu, 10 Januari 2009
Kamis, 08 Januari 2009
Pulau Tarakan sebagai Ladang Minyak dan Ladang Perang (3 -habis)
Mei 1945. Tampak tentara Sekutu yang rehat sebentar di sela-sela pertempuran melawan tentara Jepang
Perlawanan Warga Tarakan
Pada kenyataannya, tidak semua tentara Jepang yang berhasil selamat dalam pertempuran, menyerahkan diri begitu saja pada Sekutu. Ada juga yang bersembunyi di hutan dan ada pula yang berusaha melarikan diri lewat laut.
Meski tidak tercatat dalam sejarah, ada beberapa cerita mengenai penangkapan dan perlawanan terhadap pelarian perang dari pihak Jepang oleh warga yang mendiami Pulau Tarakan pada masa-masa awal. Di kawasan Desa Mamburungan, diceritakan warga berhasil menangkap seorang tentara Jepang yang bersembunyi di hutan Mamburungan. Pada waktu itu, menurut cerita yang tersebar warga terbagi menjadi dua. Ada yang berpendapat sebaiknya tentara Jepang itu diserahkan saja pada Sekutu, ada pula yang berpendapat bahwa sebaiknya ia dibunuh saja. Mungkin dikarenakan lebih banyak warga yang menyimpan dendam karena bahan pangan mereka sering diminta paksa, tentara Jepang ini akhirnya tewas di tangan massa.
Ada juga cerita perlawanan terhadap dua serdadu Jepang yang dialami oleh Kakek penulis sendiri. Pada masa itu, Kakek penulis bersama tiga orang saudaranya beserta Ayah mereka (Buyut penulis) sedang mencari kerang di sekitar tepi laut di Tanah Merah (sekitar KTT). Tanpa di sangka-sangka datang mendekati mereka, dua serdadu Jepang berpistol dengan menaiki sebuah rakit darurat. Segera saja Buyut dan anak-anaknya menghentikan aktifitas mereka.
Tanpa basa basi, dua serdadu Jepang ini langsung mengacak-acak seisi perahu yang tengah sandar di pinggir laut. Tanpa merasa bersalah mereka berdua mengambil begitu saja singkong mentah yang belum direbus dari perahu dan memakannya. Mungkin dua serdadu ini mengalami kelaparan hebat, belum makan beberapa hari. Sehabis memakan singkong mentah, mereka berdua menghampiri Buyut dan anak-anaknya sambil mengancamkan pistol. Dari bahasa isyarat, mereka meminta diantarkan ke Berau atau Balikpapan dengan menggunakan perahu milik Buyut.
Melihat gelagat yang tidak baik dan permintaan yang tidak masuk akal itu, Buyut penulis berbisik pada anak-anaknya untuk bersiap-siap melawan dua serdadu bersenjata itu. Dengan teriakan “Allahu Akbar” Buyut langsung mendorong salah satu serdadu hingga ia terjatuh dan bergumullah ia dengan Buyut di lumpur laut. Dengan gerak cepat Kakek dan salah satu saudaranya menyerang salah satu serdadu lain dengan menggunakan parang dan dayung, sementara itu, dua saudaranya yang lain lagi membantu Buyut melumpuhkan serdadu yang sudah tersungkur terlebih dahulu tadi. Kakek dan saudaranya berhasil membunuh salah satu serdadu. Bunyut beserta dua anaknya masih bergumul dengan serdadu satunya lagi. Malangnya, pistol yang belum berhasil direbut dari tangan serdadu yang satu ini meletus dan menembus kepala Buyut dan peluru itu bersarang di sana. Buyut pun terkulai lemah. Melihat Ayah mereka terkena tembakan, sebagian berusaha menyelamatkannya dan sebagian lagi secara membabi buta menyerang serdadu penembak itu hingga tewas.
Tanpa membuang waktu, Kakek dan saudara-saudaranya langsung membawa pulang Buyut. Sesampainya di Tarakan, Buyut masih bernafas. Namun dalam hitungan beberapa jam kemudian, setelah semua anggota keluarga berkumpul mengelilinginya, Buyut pun menghembuskan nafas terakhirnya.
Meskipun cerita ini hanya berkembang di kalangan masyarakat dan keluarga dan tidak tercatat dalam buku sejarah, layaklah ia dikenang sebagai peristiwa yang patut menjadi catatan tersendiri dalam lembar sejarah ingatan bahwa warga Tarakan juga pernah melakukan perlawanan terhadap penjajah Jepang, meski dalam skala kecil.
Berakhirnya Perang dan Pendudukan
Meskipun tentara Jepang sudah kalah, meskipun kemudian kemerdekaan Republik Indonesia sudah diproklamirkan pada 17 Agustus 1945, ternyata pasukan terakhir Australia, Brigade ke-26 (pasukan pendudukan) masih bertahan di Tarakan hingga 27 Desember 1945. Markas Brigade ini akhirnya dikembalikan ke Australia pada awal 1946 dan secara resmi dibubarkan di Brisbane pada bulan Januari 1946 dan tinggallah Pulau Tarakan, ladang minyak yang telah berhasil mereka gunakan sebagai ladang perang itu. (Sumber : http://anakpagun.blogspot.com/)
PERINGATAN KERAS... JIKA ANDA MENG-COPY KEMUDIAN MENAMPILKAN ARTIKEL INI DI HALAMAN ANDA HARAP MENCANTUMKAN SUMBERNYA !!!
Pulau Tarakan sebagai Ladang Minyak dan Ladang Perang (2)
31 Mei 1945. Enam pesawat terbang Liberator dari RAAF (Royal Australian Airforce) membantu Batalion Infanteri 2/23RD, dalam mengebom posisi-posisi tentara Jepang
Pendudukan Jepang di Tarakan
Sebagai sebuah negara industri baru di kawasan Asia, Jepang sangat membutuhkan sumber energi baru. Pilihan yang paling rasional adalah mencari sumber energi ke kawasan Asia terdekat yang kala itu sudah dikuasai terlebih dahulu oleh negara-negara Eropa (Inggris dan Belanda).
Untuk invasi ke kawasan Hindia Belanda, Pulau Tarakan dijadikan sebagai pintu masuk. Dipilihnya Tarakan selain karena kaya minyak dan kualitas minyaknya masuk dalam kategori kualitas nomor satu, karena juga secara geopolitik pulau ini sangat strategis karena menghubungkan jalur laut ke Australia, Filipina, dan Timur Jauh.
Jepang menginvasi Tarakan pada 11 Januari 1942 dan melakukan serangan udara pada posisi pertahanan Belanda. Pecahlah kemudian perang tidak seimbang antara dua kekuatan di Tarakan pada masa itu. Belanda hanya bermodalkan 1.300 serdadu Batalion VII KNIL, beserta pegawai perusahaan minyak BPM yang dilibatkan sebagai milisi bantuan, segelintir kapal perang ringan, pesawat tempur dan bomber berhadapan dengan sekitar 20.000 serdadu Jepang yang dimotori Pasukan Kure, pasukan elite angkatan laut Jepang yang mendarat di Pantai Amal dalam dua kelompok dengan dukungan pesawat tempur dan kapal perang lengkap.
Dalam invasi awal itu, Jepang berhasil menang dalam dua hari pertempuran dimana separuh dari pasukan Belanda tewas. Pasukan Belanda yang dipimpin oleh Letnan Kolonel De Waal menyerah pada pasukan Jepang yang dipimpin oleh Jenderal Sakaguchi.
Beberapa hari sebelum menguasai Tarakan, Jepang terlebih dahulu telah menguasai Manila, Sabah, dan Brunei. Dengan dikuasainya Tarakan, maka pulau ini dapat digunakan sebagai pintu masuk untuk pendudukan lanjutan ke sumber minyak lainnya yakni di Balikpapan, Pangkalan Brandan di Sumatera Utara, Palembang di Sumatera Selatan, dan Cepu di Jawa Tengah.
Meskipun pasukan Belanda sempat membumihanguskan ladang minyak sebelum mereka menyerah, Jepang justru mampu mengembalikan bahkan meningkatkan produktifitas ladang minyak Tarakan hingga 350.000 barel per bulan hingga awal tahun 1944.
Setelah Belanda menyerah, sekitar 5.000 penduduk Tarakan menderita di bawah kebijakan-kebijakan represif pendudukan Jepang. Karena banyaknya jumlah pasukan Jepang yang menduduki pulau Tarakan, dampaknya kemudian adalah pengambilan paksa bahan pakan milik penduduk dan menyebabkan banyak warga sipil mengalami kekurangan gizi. Pada masa ini, banyak juga penduduk Tarakan yang kemudian berpindah ke wilayah Tawau, Sabah sehingga masa ini dikenal dengan masa yang disebut masyarakat Tidung sebagai jamon vekuasi (zaman evakuasi).
Tercatat, selama masa pendudukannya, Jepang juga mendatangkan sekitar 600 buruh pekerja dari Pulau Jawa ke Pulau Tarakan untuk bekerja di ladang minyak. Penguasaan Jepang atas Pulau Tarakan tidak berlangsung lama. Semakin menguatnya kekuatan sekutu dan dengan kekuatan pasukannya jauh lebih besar membuat Jepang tidak lagi mampu bertahan di Tarakan.
Rencana Pihak Sekutu
Sesuai dengan Perjanjian Wina pada tahun 1942, negara-negara Sekutu bersepakat untuk mengembalikan wilayah-wilayah yang kini diduduki Jepang pada pemilik koloninya masing-masing bila Jepang berhasil diusir dari daerah pendudukannya. Lord Mountbatten sebagai Komandan Tertinggi Sekutu di Asia Tenggara adalah orang yang diserahi tanggungjawab kekuasaan atas Sumatera dan Jawa. Sedangkan Tentara Australia diberi tanggung jawab terhadap Kalimantan dan Indonesia bagian Timur.Maka rencana perebutan Tarakan oleh Sekutu yang berintikan Tentara Australia sebagai penanggung jawab wilayah Kalimantan adalah sebuah rencana besar yang akan menguntungkan Belanda, karena jika berhasil direbut, maka Tarakan yang kaya minyak akan kembali menjadi milik mereka sesuai dengan Perjanjian Wina tadi.
Dalam rencana pra-invasi dipastikan bahwa sebuah pesawat tempur akan ditempatkan di Tarakan enam hari setelah pendaratan dan kekuatan ini akan diperbanyak untuk mendukung serangan udara sembilan hari kemudian dan memperkuat fasilitas serangan dengan tambahan empat skuadron pesawat tempur dalam 21 hari pendaratan.
Meski tujuan utama dari serangan Sekutu di Tarakan (operasi "Oboe One") adalah untuk mengamankan dan membangun landasan udara agar bisa digunakan sebagai tempat titik tolak menuju kawasan lain seperti Brunei, Labuan (Malaysia), dan Balikpapan, motivasi untuk mengamankan ladang minyak Tarakan sebagai sumber minyak bagi kekuatan Sekutu di medan perang tidak bisa dinafikan sebagi alasan penting lainnya. (Sumber : http://anakpagun.blogspot.com/)
Pulau Tarakan sebagai Ladang Minyak dan Ladang Perang (1)
Januari 1942. Pemandangan di salah satu lokasi tambang yang dibumihanguskan sendiri oleh Belanda sebelum mereka bertempur dengan Jepang
Motivasi untuk menguasai sumber daya alam di suatu negara atau kawasan lain adalah salah satu penyebab terjadinya perang. Irak yang belum pulih hingga saat ini, adalah salah satu negara yang menjadi korban dari perang yang dirancang AS dengan motivasi terselubung untuk menguasai sumber minyak yang ada di sana.
Sejarah mencatat, perang yang terjadi akibat motivasi seperti ini bukan terjadi dalam era-era sekarang saja. Pada masa Perang Dunia II, Tarakan pun yang sesungguhnya hanyalah sebuah titik kecil dalam Peta Dunia, sempat dua kali dijadikan ladang saling bantai antara aktor besar yang terlibat dalam perang pada masa itu yakni : Jepang, Sekutu (Australia, Belanda dan Amerika Serikat). Dua kali pertempuran besar terjadi di Tarakan. Pertama, antara tentara Jepang melawan pasukan Belanda, kedua yang kemudian dikenal dengan Battle of Tarakan (Perang Tarakan) adalah perang besar antara pasukan Sekutu (pasukan Australia yang dibantu oleh Amerika Serikat dan Belanda) melawan Jepang. Dua perang ini terjadi tak luput dari fakta bahwa Tarakan adalah ladang minyak selain secara geografis letaknya sangat strategis sehingga penting artinya sebagai sumber daya pendukung dalam perang.
Penemuan Minyak di Tarakan
Pada tahun 1896, BPM (Bataavishe Petroleum Maatchapij) menemukan sumber minyak di Pulau Tarakan. Tahun-tahun selanjutnya, dimulailah upaya penambangan minyak di Tarakan oleh perusahaan milik Pemerintah Kolonial Belanda ini. Seiring dengan semakin aktifnya usaha pengeboran, ratusan pekerja didatangkan dari Pulau Jawa.
Fakta inilah pula yang menjadi awal kedatangan Suku Jawa di Pulau Tarakan.
Karena pentingnya keberadaan Pulau ini, pada tahun 1923 Belanda menempatkan seorang Asisten Residen di Tarakan yang membawahi lima wilayah yakni Tarakan, Tanjung Selor, Berau, Malinau dan Apo Kayan. Dalam waktu singkat, Tarakan menjadi pusat produksi minyak dengan dua sumur yang mampu memproduksi 80.000 barel minyak perbulan pada 1941.
Belanda melalui BPM termasuk kenyang menikmati keuntungan dengan perolehan minyak dari perut bumi Tarakan. Minyak mentah dari Tarakan yang termasuk dalam minyak kualitas nomor satu dunia langsung dikapalkan ke Amsterdam dengan menggunakan kapal laut. Salah satu kapal pengangkut yang terkenal adalah kapal Prins van Orange.
Cerita manis ini berakhir setelah Jepang sebagai negara Asia yang sangat agresif secara militer pada masa itu menargetkan Tarakan sebagai pintu masuk dalam upayanya mencari sumber energi baru di Hindia Belanda.(Sumber:http://anakpagun.blogspot.com/)
Gelisah Gilong Nasib Ulun Pagun de Tarakan
Ulun pagun jamon gului. Foto tu ulun Belanda yang ngalap sio. Sio ngitak de judul foto tu : Tidungsche Landen
Ulun pagun sebanarno suku yang nyegulu namu maya kapung de Pulau Tarakan. Tapi singgitu kamad kekuatanno de bumi pagun taka-no. Jadi minoritas maya tersisihkan. Malahan senggitu walikota maya wakil no ulun penyaboi. Soi yang menjadi sabob ai?
Langganan:
Postingan (Atom)